Dalam sebuah forum apresiasi jurnalistik siswa SMP se Kota Jogja saya bertanya, tentang siapa yang mau menjadi guru, tak ada satu anak pun yang mengacungkan jari. Lantas saya bertanya, siapa yang mau jadi wartawan, hampir semua anak mengacungkan jarinya. Lantas saya bertanya, mengapa mereka mau jadi wartawan ? " Wartawan kan kaya. Buktinya HP-nya dua. " jawab mereka.
Saya tersenyum sekalipun dalam hati prihatin. Saya memang kemana-mana membawa dua buah ponsel. GSM dan CDMA. tapi itu tidak berarti saya kaya, tetapi karena sebuah kebutuhan. Saya prihatin karena ternyata banyak orang yang belum tahu tentang wartawan yang sesungguhnya. Padahal gaji yang saya terima tak lebih hanya separuh gaji PNS.
Dalam sebuah diskusi dengan teman-teman penerbit di ruang Pawarta, saya katakan banyak hal yang sesungguhnya ironis dalam dunia jurnalistik. Saya katakan banyak hal yang kita lihat tapi tak dapat kita cegah dan justru kita ikut terjerumus di dalamnya. salah satunya adalah keterlibatan kita dalam sistem perampokan uang rakyat yang dilakukan oleh birokrasi. Jadi banyak pertentangan antara idealisme dengan kenyataan. Sebagai jurnalis yang penuh dengan idealisme, maka kita dipaksa untuk bertahan dalam sebuah sistem busuk yang penuh kemunafikan. Terlebih ketika media tempat kita bernaung tak lagi peduli dengan idealisme tetapi hanya peduli pada bisnis semata. Maka reporter tak lebih hanya budak dan tak punya kekuasaan apapun terhadap sebuah media. Karena itu, dalam pandangan saya, media harus dikelola secara profesional, tetapi ta boleh dikuasi oleh seorang pengusaha. Media harus berada dibawah naungan sebuah lembaga sosial dan bukan berada dalam kekuasaan modal.
Usai diskusi , seorang rekan wartawan yang sejak awal memperhatikan jalannya diskusi menegur saya. "Lis , kalau boleh saya memohon jangan ungkap realita jurnalis itu kepada orang lain. Cukup kita sendiri saja yang tahu. terus terang saya merasa ditelanjangi sebagai wartawan. Saya sangat cinta dengan profesi ini. " ujar teman saya. Lalu sebelum pergi teman saya itu ,menepuk bahu saya.
Saya tak menjawab permohonan teman saya itu. Karena bagi saya tidak perlu. Apa yang saya katakan adalah sebuah realita yang saya alami sebagai seorang jurnalis. Kenapa harus ditutupi ? Apa kita takut tak ada lagi yang jadi jurnalis ? Tentu saja menjadi aneh. Sebab modal utama seorang jurnalis adalah sebuah kejujuran untuk bicara apa yang terjadi . Termasuk apa y7ang kita alami.
Bicara soal cinta terhadap profesi, barangkali raasa cinta tak perlu diragukan lagi. 16 tahun menjadi jurnalis bukan waktu yang sebentar. Dan bertahan dalam sebuah perusahaan koran yang amburadul, masihkah saya kurang cinta terhadap profesi jurnalis ? Untuk itu, sekarang ini saya coba dirikan Pawarta. maksudnya agar jurnalis yang masih punya idealisme terhadap profesi dapat saling mengembangkan ide dan bertukar gagasan untuk membuat langkah demi sebuah kebersamaan. Tapi apa yang terjadi ? Apa yang saya bayangkan sama sekali tak muncul sedikitpun. Ternyata masing-masing tetap bertahan mencari keuntungan sendiri. Tak ada satu pemikiran yang mengarah paad sbeuah kebersamaan.
Untuk itu, saya memilih memberontak dari perusahaan saya. Tapi jika kemudian teman saya ternyata atas nama kecintaan terhadap profesi rela ' membudakkan diri' terhadap kapitalisme, saya tak bisa berbuat apapun. Itu hak mereka .
Karena itulah saya bergerak diam-diam. Saya lebih suka berbuat daripada bicara. Siapa yang kira-kira bisa diajak kerja, saya ajak kerja. Tapi mereka yang hanya suka bicara untuk memperjuangkan nasib jurnalis dengan 'label ' apapun saya tinggal. Saya yakini, pembelaan terhadap profesi jurnalis tak butuh omong besar, tetapi butuh kerja nyata. (*)
Monday, November 14, 2005
Friday, November 11, 2005
Organisasi Profesi
Setiap ketemu orang baru dan mereka tahu saya wartawan, umumnya saya sering ditanya. Ikut PWI apa AJI mas. Saya jawab enggak ikut. Dan hampir pasti raut muka keheranan muncul.
Ada banyak alasan jika sampai saat saya menulis tulisan ini saya tidak ikut organisasi profesi. Bahkan, Paguyuban Wartawan Kota yang saya dirikan bareng teman-teman saya opun saya anggap bukan organisasi profesi, karena dalam pandangan saya organisasi profesi mempunyai peran pokok dalam melindungi anggotanya. dan selama ini menurut saya belum ada organisasi profesi jurnalis yang mampu membela kepentingan anggotanya secara riil.
Kalau toh ada, paling hanya sebatas dukungan moral dan itu tak berpengaruh apapun terhadap nasib jurnalis. Saya ambil contoh, sebuah koran lokal secara jelas menjual nama jurnalis 'Udin' dalam kolom 'Pojok Udin' sebagai mereka dagang. Tapi tak ada reaksi apapun dari organisasi profesi yang mengatasnamakan sebagai pejuang nasib jurnalis dan nasib Marsiyem--istri mas Udin dan anaknya -- ya tetep aja nelangsa. Padahal, organiasi profesi punya kekuatan untuk memperjuangkan royalti buat mbak Marsiyem atas komersialisasi nama mas Udin. Tapi mengapa hal itu tak dilakukan.
Disisi lain, organiasi profesi punya kekuatan cukup untuk menerbitkan media alternatif, sebagai perlindungan terhadap jurnalis-jurnalis idealis agar mereka berani memperjuangkan hak-haknya terhadap perusahaannya. Jadi, pada saat mereka harus berhadapan dengan vonis 'PHK' mereka tak perlu takut kehilangan media aspirasi.
Banyak hal yang sesungguhnya ironis dalam perusahaan jurnalistik. Pada saat seseorang ingin bersikap idealis sebagai seorang jurnalis, mereka sering terbentur pada tembok kekuasaan yang berkedok kepentingan bisnis. Seorang Pemred yang sekaligus menjabat sebagai PU di kantor saya dulu pernah melarang wartawannya untuk membuat tulisan dan foto yang bernada kritik. Alasannya, berita dan foto yang bernada kritik tak akan disukai pembaca. " Kita ini media yang berorientasi bisnis. Kalau isinya kritik melulu , nanti tak ada yang mau pasang iklan. " ujar PU saya waktu itu.
16 tahun menjadi wartawan, saya cuma bisa mengelus dada. Kok ya masih ada PU yang goblognya seperti ini. Tapi karena saya berada dalam kasta buruh pers, suara saya tak pernah terdengar. Tapi sampai kapan para jurnalis itu harus mengeluas dada menghadapi penjajahan idealisme seperti ini ??? Walluhualam !!!
Ada banyak alasan jika sampai saat saya menulis tulisan ini saya tidak ikut organisasi profesi. Bahkan, Paguyuban Wartawan Kota yang saya dirikan bareng teman-teman saya opun saya anggap bukan organisasi profesi, karena dalam pandangan saya organisasi profesi mempunyai peran pokok dalam melindungi anggotanya. dan selama ini menurut saya belum ada organisasi profesi jurnalis yang mampu membela kepentingan anggotanya secara riil.
Kalau toh ada, paling hanya sebatas dukungan moral dan itu tak berpengaruh apapun terhadap nasib jurnalis. Saya ambil contoh, sebuah koran lokal secara jelas menjual nama jurnalis 'Udin' dalam kolom 'Pojok Udin' sebagai mereka dagang. Tapi tak ada reaksi apapun dari organisasi profesi yang mengatasnamakan sebagai pejuang nasib jurnalis dan nasib Marsiyem--istri mas Udin dan anaknya -- ya tetep aja nelangsa. Padahal, organiasi profesi punya kekuatan untuk memperjuangkan royalti buat mbak Marsiyem atas komersialisasi nama mas Udin. Tapi mengapa hal itu tak dilakukan.
Disisi lain, organiasi profesi punya kekuatan cukup untuk menerbitkan media alternatif, sebagai perlindungan terhadap jurnalis-jurnalis idealis agar mereka berani memperjuangkan hak-haknya terhadap perusahaannya. Jadi, pada saat mereka harus berhadapan dengan vonis 'PHK' mereka tak perlu takut kehilangan media aspirasi.
Banyak hal yang sesungguhnya ironis dalam perusahaan jurnalistik. Pada saat seseorang ingin bersikap idealis sebagai seorang jurnalis, mereka sering terbentur pada tembok kekuasaan yang berkedok kepentingan bisnis. Seorang Pemred yang sekaligus menjabat sebagai PU di kantor saya dulu pernah melarang wartawannya untuk membuat tulisan dan foto yang bernada kritik. Alasannya, berita dan foto yang bernada kritik tak akan disukai pembaca. " Kita ini media yang berorientasi bisnis. Kalau isinya kritik melulu , nanti tak ada yang mau pasang iklan. " ujar PU saya waktu itu.
16 tahun menjadi wartawan, saya cuma bisa mengelus dada. Kok ya masih ada PU yang goblognya seperti ini. Tapi karena saya berada dalam kasta buruh pers, suara saya tak pernah terdengar. Tapi sampai kapan para jurnalis itu harus mengeluas dada menghadapi penjajahan idealisme seperti ini ??? Walluhualam !!!
Wednesday, November 02, 2005
Tangan Panjang Koruptor
Ada sebuah lelucon jika wartawan adalah orang yang gak bakal masuk neraka. Sebab, mereka selalu punya tugas konfirmasi saat meliput berita. Jadi , setelah meninggal mereka bisa wira-wiri antara neraka dengan surga. :)
Realitanya, wartawan adalah orang yang lebih banyak ditunjukkan jalan ke neraka daripada ke surga. Bahkan hanya wartawan yang setengah gila aja yang bisa bertahan dalam profesinya. Bagaimana tidak ? Mereka harus bertarung antara idealisme dan kebutuhan ekonomi. Dan jarang sekali yang kuat mempertahankan idealisme karena rayuan status, posisi dan ekonomi. Apalagi untuk wartawan koran lokal yang gajinya hanya sekitar Rp.700 ribu.
Wartawan dihargai karena 'taringnya'. Tapi, sumpah pada saat mereka tak punya taring lagi, jarang yang sempat memandang keberadaannya. Karena itu, beberapa wartawan kemudian melakukan aji mumpung. Pada saat mereka masih berprofesi wartawan, mereka bekerjsama dengan pejabat menjadi tangan panjang koruptor.
Karena sebuah kepanjangan tangan, maka peran wartawan sangat menentukan. Umumnya modus yang digunakan pejabat adalah meminta pengesahan kwitasi dinas yang sudah dimark-up kepada perusahaan koran. Mereka membujuk wartawan untuk menyampaikan hal itu kepada perusahaannya agar kwitansi dinas itu disahkan. Sebab kwitansi yg telah dishkan itu yg nantinya dipakai sebagai Laporan Pertanggung Jawaban oleh dinas terkait. Karena wartawan ingin dapat komisi iklan, maka permintaan itu dikabulkannya. Jadilah proses korupsi mutualisme antara pejabat dan wartawan.
Di Kota, proses korupsi ini sudah berlangsung sangat menjijikkan. Sebuah instansi dinas jusyru pernah terang-terangan mencatut nama media tertetentu tetapi disahkan di media lainnya. Meski wartawan yang dicatut protes, tetapi korupsi tetap berlangsung.
Bukan hanya itu, nama wartawan juga sering dipakai sebagai alasan untuk melancarkan proses korupsi. Seorang pejabat di Pemkot pernah menemui saya. Mereka menyatakan bahwa dinasnya akan memberikan sarana liputan berupa tas kecil. Ditunjukkannya , sebuah tas gunung kecil merek Eiger kepada saya. Saya taksir harganya sekitar Rp.75-100 ribu. Saya bilang, oke, tas seperti itu. Tapi realiasinya, ternyata hanya diberikan tas kecil tanpa merek yang harga di toko tak lebih dari Rp.20 ribu.
Bukan hanya itu, sebuah instansi pernah memesan iklan untuk koran saya yang harganya waktu itu Rp. 3,5 juta. Tapi justru dibayar Rp. 4 juta, tanpa kwitansi. Saya heran, tetapi mereka memaksa saya menerimakelebihan yang Rp 500 ribu itu dan esoknya saya dengar kabar bahwa anggaran Sekda ternyata 7,5 juta untuk iklan media saya. Saya pernah akan kembalikan, tetapi mereka jawab, uang yang sudah keluar tak boleh dikembalikan lagi.
Ini realitanya.
Tapi mereka yang terbiasanya sebagai tangan panjang koruptor ternyata justru teriak-teriak anti bodrex. Mereka demonstrasi menolak wartawan gadungan, karena khawatir wartawan yang tak mereka kenal medianya ikut menikmati jatah anggaran transportasi yang dikleuarkan dinas tertentu. Saya melihatnya sebagai sebuah kekhawatiran berkurangnya jatah amplopan yang mereka terima daripada perjuangan mempertahankan idealisme.
Teman saya seorang wartawati, bahkan pernah menolak jumpa pers PKS karena dinilai PKS tak peka terhadap kebutuhan wartawan. " Saya mending gak berangkat saja, PKS kan maunya cuma gotong royong. Masak uang bensin aja gak kasih,. Kebangetan ." ujar teman saya itu.
Jujur..saya pernah ikut mengalami hal itu selama hampir 5 tahun. Tapi, saya tak betah menghadapi pertentangan nurani dan saya memutuskan untuk mengakhirinya. saja. (*)
Realitanya, wartawan adalah orang yang lebih banyak ditunjukkan jalan ke neraka daripada ke surga. Bahkan hanya wartawan yang setengah gila aja yang bisa bertahan dalam profesinya. Bagaimana tidak ? Mereka harus bertarung antara idealisme dan kebutuhan ekonomi. Dan jarang sekali yang kuat mempertahankan idealisme karena rayuan status, posisi dan ekonomi. Apalagi untuk wartawan koran lokal yang gajinya hanya sekitar Rp.700 ribu.
Wartawan dihargai karena 'taringnya'. Tapi, sumpah pada saat mereka tak punya taring lagi, jarang yang sempat memandang keberadaannya. Karena itu, beberapa wartawan kemudian melakukan aji mumpung. Pada saat mereka masih berprofesi wartawan, mereka bekerjsama dengan pejabat menjadi tangan panjang koruptor.
Karena sebuah kepanjangan tangan, maka peran wartawan sangat menentukan. Umumnya modus yang digunakan pejabat adalah meminta pengesahan kwitasi dinas yang sudah dimark-up kepada perusahaan koran. Mereka membujuk wartawan untuk menyampaikan hal itu kepada perusahaannya agar kwitansi dinas itu disahkan. Sebab kwitansi yg telah dishkan itu yg nantinya dipakai sebagai Laporan Pertanggung Jawaban oleh dinas terkait. Karena wartawan ingin dapat komisi iklan, maka permintaan itu dikabulkannya. Jadilah proses korupsi mutualisme antara pejabat dan wartawan.
Di Kota, proses korupsi ini sudah berlangsung sangat menjijikkan. Sebuah instansi dinas jusyru pernah terang-terangan mencatut nama media tertetentu tetapi disahkan di media lainnya. Meski wartawan yang dicatut protes, tetapi korupsi tetap berlangsung.
Bukan hanya itu, nama wartawan juga sering dipakai sebagai alasan untuk melancarkan proses korupsi. Seorang pejabat di Pemkot pernah menemui saya. Mereka menyatakan bahwa dinasnya akan memberikan sarana liputan berupa tas kecil. Ditunjukkannya , sebuah tas gunung kecil merek Eiger kepada saya. Saya taksir harganya sekitar Rp.75-100 ribu. Saya bilang, oke, tas seperti itu. Tapi realiasinya, ternyata hanya diberikan tas kecil tanpa merek yang harga di toko tak lebih dari Rp.20 ribu.
Bukan hanya itu, sebuah instansi pernah memesan iklan untuk koran saya yang harganya waktu itu Rp. 3,5 juta. Tapi justru dibayar Rp. 4 juta, tanpa kwitansi. Saya heran, tetapi mereka memaksa saya menerimakelebihan yang Rp 500 ribu itu dan esoknya saya dengar kabar bahwa anggaran Sekda ternyata 7,5 juta untuk iklan media saya. Saya pernah akan kembalikan, tetapi mereka jawab, uang yang sudah keluar tak boleh dikembalikan lagi.
Ini realitanya.
Tapi mereka yang terbiasanya sebagai tangan panjang koruptor ternyata justru teriak-teriak anti bodrex. Mereka demonstrasi menolak wartawan gadungan, karena khawatir wartawan yang tak mereka kenal medianya ikut menikmati jatah anggaran transportasi yang dikleuarkan dinas tertentu. Saya melihatnya sebagai sebuah kekhawatiran berkurangnya jatah amplopan yang mereka terima daripada perjuangan mempertahankan idealisme.
Teman saya seorang wartawati, bahkan pernah menolak jumpa pers PKS karena dinilai PKS tak peka terhadap kebutuhan wartawan. " Saya mending gak berangkat saja, PKS kan maunya cuma gotong royong. Masak uang bensin aja gak kasih,. Kebangetan ." ujar teman saya itu.
Jujur..saya pernah ikut mengalami hal itu selama hampir 5 tahun. Tapi, saya tak betah menghadapi pertentangan nurani dan saya memutuskan untuk mengakhirinya. saja. (*)
Subscribe to:
Posts (Atom)