Friday, November 11, 2005

Organisasi Profesi

Setiap ketemu orang baru dan mereka tahu saya wartawan, umumnya saya sering ditanya. Ikut PWI apa AJI mas. Saya jawab enggak ikut. Dan hampir pasti raut muka keheranan muncul.
Ada banyak alasan jika sampai saat saya menulis tulisan ini saya tidak ikut organisasi profesi. Bahkan, Paguyuban Wartawan Kota yang saya dirikan bareng teman-teman saya opun saya anggap bukan organisasi profesi, karena dalam pandangan saya organisasi profesi mempunyai peran pokok dalam melindungi anggotanya. dan selama ini menurut saya belum ada organisasi profesi jurnalis yang mampu membela kepentingan anggotanya secara riil.

Kalau toh ada, paling hanya sebatas dukungan moral dan itu tak berpengaruh apapun terhadap nasib jurnalis. Saya ambil contoh, sebuah koran lokal secara jelas menjual nama jurnalis 'Udin' dalam kolom 'Pojok Udin' sebagai mereka dagang. Tapi tak ada reaksi apapun dari organisasi profesi yang mengatasnamakan sebagai pejuang nasib jurnalis dan nasib Marsiyem--istri mas Udin dan anaknya -- ya tetep aja nelangsa. Padahal, organiasi profesi punya kekuatan untuk memperjuangkan royalti buat mbak Marsiyem atas komersialisasi nama mas Udin. Tapi mengapa hal itu tak dilakukan.

Disisi lain, organiasi profesi punya kekuatan cukup untuk menerbitkan media alternatif, sebagai perlindungan terhadap jurnalis-jurnalis idealis agar mereka berani memperjuangkan hak-haknya terhadap perusahaannya. Jadi, pada saat mereka harus berhadapan dengan vonis 'PHK' mereka tak perlu takut kehilangan media aspirasi.

Banyak hal yang sesungguhnya ironis dalam perusahaan jurnalistik. Pada saat seseorang ingin bersikap idealis sebagai seorang jurnalis, mereka sering terbentur pada tembok kekuasaan yang berkedok kepentingan bisnis. Seorang Pemred yang sekaligus menjabat sebagai PU di kantor saya dulu pernah melarang wartawannya untuk membuat tulisan dan foto yang bernada kritik. Alasannya, berita dan foto yang bernada kritik tak akan disukai pembaca. " Kita ini media yang berorientasi bisnis. Kalau isinya kritik melulu , nanti tak ada yang mau pasang iklan. " ujar PU saya waktu itu.

16 tahun menjadi wartawan, saya cuma bisa mengelus dada. Kok ya masih ada PU yang goblognya seperti ini. Tapi karena saya berada dalam kasta buruh pers, suara saya tak pernah terdengar. Tapi sampai kapan para jurnalis itu harus mengeluas dada menghadapi penjajahan idealisme seperti ini ??? Walluhualam !!!