Monday, November 14, 2005

Siapa Mau Jadi Wartawan

Dalam sebuah forum apresiasi jurnalistik siswa SMP se Kota Jogja saya bertanya, tentang siapa yang mau menjadi guru, tak ada satu anak pun yang mengacungkan jari. Lantas saya bertanya, siapa yang mau jadi wartawan, hampir semua anak mengacungkan jarinya. Lantas saya bertanya, mengapa mereka mau jadi wartawan ? " Wartawan kan kaya. Buktinya HP-nya dua. " jawab mereka.

Saya tersenyum sekalipun dalam hati prihatin. Saya memang kemana-mana membawa dua buah ponsel. GSM dan CDMA. tapi itu tidak berarti saya kaya, tetapi karena sebuah kebutuhan. Saya prihatin karena ternyata banyak orang yang belum tahu tentang wartawan yang sesungguhnya. Padahal gaji yang saya terima tak lebih hanya separuh gaji PNS.

Dalam sebuah diskusi dengan teman-teman penerbit di ruang Pawarta, saya katakan banyak hal yang sesungguhnya ironis dalam dunia jurnalistik. Saya katakan banyak hal yang kita lihat tapi tak dapat kita cegah dan justru kita ikut terjerumus di dalamnya. salah satunya adalah keterlibatan kita dalam sistem perampokan uang rakyat yang dilakukan oleh birokrasi. Jadi banyak pertentangan antara idealisme dengan kenyataan. Sebagai jurnalis yang penuh dengan idealisme, maka kita dipaksa untuk bertahan dalam sebuah sistem busuk yang penuh kemunafikan. Terlebih ketika media tempat kita bernaung tak lagi peduli dengan idealisme tetapi hanya peduli pada bisnis semata. Maka reporter tak lebih hanya budak dan tak punya kekuasaan apapun terhadap sebuah media. Karena itu, dalam pandangan saya, media harus dikelola secara profesional, tetapi ta boleh dikuasi oleh seorang pengusaha. Media harus berada dibawah naungan sebuah lembaga sosial dan bukan berada dalam kekuasaan modal.

Usai diskusi , seorang rekan wartawan yang sejak awal memperhatikan jalannya diskusi menegur saya. "Lis , kalau boleh saya memohon jangan ungkap realita jurnalis itu kepada orang lain. Cukup kita sendiri saja yang tahu. terus terang saya merasa ditelanjangi sebagai wartawan. Saya sangat cinta dengan profesi ini. " ujar teman saya. Lalu sebelum pergi teman saya itu ,menepuk bahu saya.

Saya tak menjawab permohonan teman saya itu. Karena bagi saya tidak perlu. Apa yang saya katakan adalah sebuah realita yang saya alami sebagai seorang jurnalis. Kenapa harus ditutupi ? Apa kita takut tak ada lagi yang jadi jurnalis ? Tentu saja menjadi aneh. Sebab modal utama seorang jurnalis adalah sebuah kejujuran untuk bicara apa yang terjadi . Termasuk apa y7ang kita alami.

Bicara soal cinta terhadap profesi, barangkali raasa cinta tak perlu diragukan lagi. 16 tahun menjadi jurnalis bukan waktu yang sebentar. Dan bertahan dalam sebuah perusahaan koran yang amburadul, masihkah saya kurang cinta terhadap profesi jurnalis ? Untuk itu, sekarang ini saya coba dirikan Pawarta. maksudnya agar jurnalis yang masih punya idealisme terhadap profesi dapat saling mengembangkan ide dan bertukar gagasan untuk membuat langkah demi sebuah kebersamaan. Tapi apa yang terjadi ? Apa yang saya bayangkan sama sekali tak muncul sedikitpun. Ternyata masing-masing tetap bertahan mencari keuntungan sendiri. Tak ada satu pemikiran yang mengarah paad sbeuah kebersamaan.

Untuk itu, saya memilih memberontak dari perusahaan saya. Tapi jika kemudian teman saya ternyata atas nama kecintaan terhadap profesi rela ' membudakkan diri' terhadap kapitalisme, saya tak bisa berbuat apapun. Itu hak mereka .

Karena itulah saya bergerak diam-diam. Saya lebih suka berbuat daripada bicara. Siapa yang kira-kira bisa diajak kerja, saya ajak kerja. Tapi mereka yang hanya suka bicara untuk memperjuangkan nasib jurnalis dengan 'label ' apapun saya tinggal. Saya yakini, pembelaan terhadap profesi jurnalis tak butuh omong besar, tetapi butuh kerja nyata. (*)