Monday, November 14, 2005

Siapa Mau Jadi Wartawan

Dalam sebuah forum apresiasi jurnalistik siswa SMP se Kota Jogja saya bertanya, tentang siapa yang mau menjadi guru, tak ada satu anak pun yang mengacungkan jari. Lantas saya bertanya, siapa yang mau jadi wartawan, hampir semua anak mengacungkan jarinya. Lantas saya bertanya, mengapa mereka mau jadi wartawan ? " Wartawan kan kaya. Buktinya HP-nya dua. " jawab mereka.

Saya tersenyum sekalipun dalam hati prihatin. Saya memang kemana-mana membawa dua buah ponsel. GSM dan CDMA. tapi itu tidak berarti saya kaya, tetapi karena sebuah kebutuhan. Saya prihatin karena ternyata banyak orang yang belum tahu tentang wartawan yang sesungguhnya. Padahal gaji yang saya terima tak lebih hanya separuh gaji PNS.

Dalam sebuah diskusi dengan teman-teman penerbit di ruang Pawarta, saya katakan banyak hal yang sesungguhnya ironis dalam dunia jurnalistik. Saya katakan banyak hal yang kita lihat tapi tak dapat kita cegah dan justru kita ikut terjerumus di dalamnya. salah satunya adalah keterlibatan kita dalam sistem perampokan uang rakyat yang dilakukan oleh birokrasi. Jadi banyak pertentangan antara idealisme dengan kenyataan. Sebagai jurnalis yang penuh dengan idealisme, maka kita dipaksa untuk bertahan dalam sebuah sistem busuk yang penuh kemunafikan. Terlebih ketika media tempat kita bernaung tak lagi peduli dengan idealisme tetapi hanya peduli pada bisnis semata. Maka reporter tak lebih hanya budak dan tak punya kekuasaan apapun terhadap sebuah media. Karena itu, dalam pandangan saya, media harus dikelola secara profesional, tetapi ta boleh dikuasi oleh seorang pengusaha. Media harus berada dibawah naungan sebuah lembaga sosial dan bukan berada dalam kekuasaan modal.

Usai diskusi , seorang rekan wartawan yang sejak awal memperhatikan jalannya diskusi menegur saya. "Lis , kalau boleh saya memohon jangan ungkap realita jurnalis itu kepada orang lain. Cukup kita sendiri saja yang tahu. terus terang saya merasa ditelanjangi sebagai wartawan. Saya sangat cinta dengan profesi ini. " ujar teman saya. Lalu sebelum pergi teman saya itu ,menepuk bahu saya.

Saya tak menjawab permohonan teman saya itu. Karena bagi saya tidak perlu. Apa yang saya katakan adalah sebuah realita yang saya alami sebagai seorang jurnalis. Kenapa harus ditutupi ? Apa kita takut tak ada lagi yang jadi jurnalis ? Tentu saja menjadi aneh. Sebab modal utama seorang jurnalis adalah sebuah kejujuran untuk bicara apa yang terjadi . Termasuk apa y7ang kita alami.

Bicara soal cinta terhadap profesi, barangkali raasa cinta tak perlu diragukan lagi. 16 tahun menjadi jurnalis bukan waktu yang sebentar. Dan bertahan dalam sebuah perusahaan koran yang amburadul, masihkah saya kurang cinta terhadap profesi jurnalis ? Untuk itu, sekarang ini saya coba dirikan Pawarta. maksudnya agar jurnalis yang masih punya idealisme terhadap profesi dapat saling mengembangkan ide dan bertukar gagasan untuk membuat langkah demi sebuah kebersamaan. Tapi apa yang terjadi ? Apa yang saya bayangkan sama sekali tak muncul sedikitpun. Ternyata masing-masing tetap bertahan mencari keuntungan sendiri. Tak ada satu pemikiran yang mengarah paad sbeuah kebersamaan.

Untuk itu, saya memilih memberontak dari perusahaan saya. Tapi jika kemudian teman saya ternyata atas nama kecintaan terhadap profesi rela ' membudakkan diri' terhadap kapitalisme, saya tak bisa berbuat apapun. Itu hak mereka .

Karena itulah saya bergerak diam-diam. Saya lebih suka berbuat daripada bicara. Siapa yang kira-kira bisa diajak kerja, saya ajak kerja. Tapi mereka yang hanya suka bicara untuk memperjuangkan nasib jurnalis dengan 'label ' apapun saya tinggal. Saya yakini, pembelaan terhadap profesi jurnalis tak butuh omong besar, tetapi butuh kerja nyata. (*)

Friday, November 11, 2005

Organisasi Profesi

Setiap ketemu orang baru dan mereka tahu saya wartawan, umumnya saya sering ditanya. Ikut PWI apa AJI mas. Saya jawab enggak ikut. Dan hampir pasti raut muka keheranan muncul.
Ada banyak alasan jika sampai saat saya menulis tulisan ini saya tidak ikut organisasi profesi. Bahkan, Paguyuban Wartawan Kota yang saya dirikan bareng teman-teman saya opun saya anggap bukan organisasi profesi, karena dalam pandangan saya organisasi profesi mempunyai peran pokok dalam melindungi anggotanya. dan selama ini menurut saya belum ada organisasi profesi jurnalis yang mampu membela kepentingan anggotanya secara riil.

Kalau toh ada, paling hanya sebatas dukungan moral dan itu tak berpengaruh apapun terhadap nasib jurnalis. Saya ambil contoh, sebuah koran lokal secara jelas menjual nama jurnalis 'Udin' dalam kolom 'Pojok Udin' sebagai mereka dagang. Tapi tak ada reaksi apapun dari organisasi profesi yang mengatasnamakan sebagai pejuang nasib jurnalis dan nasib Marsiyem--istri mas Udin dan anaknya -- ya tetep aja nelangsa. Padahal, organiasi profesi punya kekuatan untuk memperjuangkan royalti buat mbak Marsiyem atas komersialisasi nama mas Udin. Tapi mengapa hal itu tak dilakukan.

Disisi lain, organiasi profesi punya kekuatan cukup untuk menerbitkan media alternatif, sebagai perlindungan terhadap jurnalis-jurnalis idealis agar mereka berani memperjuangkan hak-haknya terhadap perusahaannya. Jadi, pada saat mereka harus berhadapan dengan vonis 'PHK' mereka tak perlu takut kehilangan media aspirasi.

Banyak hal yang sesungguhnya ironis dalam perusahaan jurnalistik. Pada saat seseorang ingin bersikap idealis sebagai seorang jurnalis, mereka sering terbentur pada tembok kekuasaan yang berkedok kepentingan bisnis. Seorang Pemred yang sekaligus menjabat sebagai PU di kantor saya dulu pernah melarang wartawannya untuk membuat tulisan dan foto yang bernada kritik. Alasannya, berita dan foto yang bernada kritik tak akan disukai pembaca. " Kita ini media yang berorientasi bisnis. Kalau isinya kritik melulu , nanti tak ada yang mau pasang iklan. " ujar PU saya waktu itu.

16 tahun menjadi wartawan, saya cuma bisa mengelus dada. Kok ya masih ada PU yang goblognya seperti ini. Tapi karena saya berada dalam kasta buruh pers, suara saya tak pernah terdengar. Tapi sampai kapan para jurnalis itu harus mengeluas dada menghadapi penjajahan idealisme seperti ini ??? Walluhualam !!!

Wednesday, November 02, 2005

Tangan Panjang Koruptor

Ada sebuah lelucon jika wartawan adalah orang yang gak bakal masuk neraka. Sebab, mereka selalu punya tugas konfirmasi saat meliput berita. Jadi , setelah meninggal mereka bisa wira-wiri antara neraka dengan surga. :)

Realitanya, wartawan adalah orang yang lebih banyak ditunjukkan jalan ke neraka daripada ke surga. Bahkan hanya wartawan yang setengah gila aja yang bisa bertahan dalam profesinya. Bagaimana tidak ? Mereka harus bertarung antara idealisme dan kebutuhan ekonomi. Dan jarang sekali yang kuat mempertahankan idealisme karena rayuan status, posisi dan ekonomi. Apalagi untuk wartawan koran lokal yang gajinya hanya sekitar Rp.700 ribu.

Wartawan dihargai karena 'taringnya'. Tapi, sumpah pada saat mereka tak punya taring lagi, jarang yang sempat memandang keberadaannya. Karena itu, beberapa wartawan kemudian melakukan aji mumpung. Pada saat mereka masih berprofesi wartawan, mereka bekerjsama dengan pejabat menjadi tangan panjang koruptor.

Karena sebuah kepanjangan tangan, maka peran wartawan sangat menentukan. Umumnya modus yang digunakan pejabat adalah meminta pengesahan kwitasi dinas yang sudah dimark-up kepada perusahaan koran. Mereka membujuk wartawan untuk menyampaikan hal itu kepada perusahaannya agar kwitansi dinas itu disahkan. Sebab kwitansi yg telah dishkan itu yg nantinya dipakai sebagai Laporan Pertanggung Jawaban oleh dinas terkait. Karena wartawan ingin dapat komisi iklan, maka permintaan itu dikabulkannya. Jadilah proses korupsi mutualisme antara pejabat dan wartawan.

Di Kota, proses korupsi ini sudah berlangsung sangat menjijikkan. Sebuah instansi dinas jusyru pernah terang-terangan mencatut nama media tertetentu tetapi disahkan di media lainnya. Meski wartawan yang dicatut protes, tetapi korupsi tetap berlangsung.

Bukan hanya itu, nama wartawan juga sering dipakai sebagai alasan untuk melancarkan proses korupsi. Seorang pejabat di Pemkot pernah menemui saya. Mereka menyatakan bahwa dinasnya akan memberikan sarana liputan berupa tas kecil. Ditunjukkannya , sebuah tas gunung kecil merek Eiger kepada saya. Saya taksir harganya sekitar Rp.75-100 ribu. Saya bilang, oke, tas seperti itu. Tapi realiasinya, ternyata hanya diberikan tas kecil tanpa merek yang harga di toko tak lebih dari Rp.20 ribu.

Bukan hanya itu, sebuah instansi pernah memesan iklan untuk koran saya yang harganya waktu itu Rp. 3,5 juta. Tapi justru dibayar Rp. 4 juta, tanpa kwitansi. Saya heran, tetapi mereka memaksa saya menerimakelebihan yang Rp 500 ribu itu dan esoknya saya dengar kabar bahwa anggaran Sekda ternyata 7,5 juta untuk iklan media saya. Saya pernah akan kembalikan, tetapi mereka jawab, uang yang sudah keluar tak boleh dikembalikan lagi.

Ini realitanya.

Tapi mereka yang terbiasanya sebagai tangan panjang koruptor ternyata justru teriak-teriak anti bodrex. Mereka demonstrasi menolak wartawan gadungan, karena khawatir wartawan yang tak mereka kenal medianya ikut menikmati jatah anggaran transportasi yang dikleuarkan dinas tertentu. Saya melihatnya sebagai sebuah kekhawatiran berkurangnya jatah amplopan yang mereka terima daripada perjuangan mempertahankan idealisme.

Teman saya seorang wartawati, bahkan pernah menolak jumpa pers PKS karena dinilai PKS tak peka terhadap kebutuhan wartawan. " Saya mending gak berangkat saja, PKS kan maunya cuma gotong royong. Masak uang bensin aja gak kasih,. Kebangetan ." ujar teman saya itu.

Jujur..saya pernah ikut mengalami hal itu selama hampir 5 tahun. Tapi, saya tak betah menghadapi pertentangan nurani dan saya memutuskan untuk mengakhirinya. saja. (*)

Friday, July 29, 2005


Senggigi memories Posted by Picasa

Ahmadiyah Yang Teraniaya

Hari Ini televisi menyiarkan, MUI melarang ajaran Ahmadiyah. Ajaran yang dilahirkan oleh Mirza Ghulam Ahmad ini dianggap sesat karena menyakini bahwa Mirza merupakan sang Imam Mahdi yang dalam Qur'an ditulis akan munculk menjelang kiamat.

Saya bukan pendukung aliran apapun, termasuk Ahmadiyah. Tetapi pengharaman ini menurut saya tak adil. Lebih memprihatinkan bahwa yang mengharamkan adalah lembaga MUI yang nota bene adalag lembaga kumpulan ulama. Lantas dimana letak kebiajkan para ulama? Jika lembaga ulama sudah menjadi lembaga politik, kemana ummat akan berpegang ?

Tak ada satu orang dan satu lembaga pun yang berhak melarang keyakinan orang. Keyakinan adalah hal yang sangat pribadi dan tak boleh diganggu gugat. Agama dan keyakinan untuk bergama harus diletakkan pada sebuah kebutuhan masing-masing individu dan bukan sebuah kewajiban. Ini negara merdeka man. Orang bebas untuk masuk surga atau neraka (kalau memang ada..). Sama halnya orang bebas untuk kaya atau tetap miskin, jika mereka mau. Kita tak berhak untuk memaksakan pendapat kita terhadap orang lain, karena hal itu berarti sebuah kesombongan. Lantas jika ulama kita telah sombong, kemana ummat harus berpegang. Astaghfirullah.

Wahai jamaah Ahmadiyah..bersabarlah atas penganiayaan yang justru dilakukan oleh para ulama negara kita.

Monday, July 18, 2005

Susahnya Hidup Bersih

Jika disebut profesi jurnalis, apa yang terbayang ? Seseorang dengan rompi kumal, rambut gondrong, tas besar dan kumuh. Haruskah begitu ? Ada anggapan salah kaprah untuk mengidentfikasi priofesi jurnalis. Seolah-olah jurnalis identik dengan rompi dan rambut gaondrong. Jika ada wartawan yang tampil rapih, tanpa rompi dan bersih maka..jurnalis seperti ini akan dibilang sebagai jurnalis nanggung.

Lho? Padahal nanggung dan tidak bukan terletak pada pakaian, tetapi terletak pada ketrampilan karena jurnalis adalah sebuah ketrampilan. Jika birokrat berpakaian bersih dan rapi maka jurnlais seolah-olah harus mengambil posisi berlawanan sehingga mereka memilih untuk kumuh daripada tampil bersih.

Agak susah mencari jurnalis yang punya perilaku hidup bersih. Bukan hanya sisi lahir tetapi juga sisi batin. Tuntutan terhadap profesi agar mampu tampil ajur ajer dengan semua lapisan masyarakat telah menyeret sejumlah jurnalis dalam golongan abangan. Sangat sulit menemukan lingkungan pergaulan jurnalis yang benar-benar hijau.

Bukan hanya itu, menjaga lingkungan kerja tetap bersih ternyata juga susah. Apalagi, sebagian besar wartawan sangat tergantung 'memori'nya terhadap sebatang rokok. Maka, jika mereka tak merokok selama bekerja, ibarat mobil tanpa bensin. Matot alias macet total.!

Dapat diduga, selama bekerja ruangan kerja seorang jurnalis akan selalu berasap. Nh bisa dibayangkan betapa sumpeknya jika ruangan itu ber AC, maka ruangan menjadi pengap dan sesak. Untungnya, saat saya masih bekerja, boss saya cukup nekat untuk tidak memasang AC di ruang kerja dan tega hati membiarkan karyawannya kepanasan.

Hampir dalam setiap tulisannya, wartawan selalu mengajak masyarakat untuk hidup sehat dan bersih. Tetapi, ternyata masih sulit untuk diterapkan pada diri sendiri. Kalau sudah begini, so what gitu lhoh..!!

Friday, July 15, 2005

Copet Malioboro

Ini sebuah cerita tentang seorang copet di Kawasan Malioboro yang tertangkap polisi. Hanya sekitar Rp.200 ribu uang yang ia peroleh dari hasil mencopet seorang ibu yang sedang berbelanja di sebuah swalayan. Namun, karena nasib sial dia tertangkap. Setelah remuk digebugi warga, copet ini diserahkan pada polisi. Kabar terangkapnya copet itupun sampai ketelinga wartawan. Tau ada pencopet terangkap, wartawan kriminal seperti mendapat santapan lezat bagi tayangan medianya. Tetapi, ada juga yang over acting. Tanpa alasan yang jelas seorang wartawan justru ikut memukuli pencopet dan bergaya seperti seorang reserse. Padahal, tak ada kamus jurnalistik yang menghalalkan wartawan berlaku kekerasan.

Alih-alih untuk menunjukkan rumah teman yang lainnya, copet itu dibawa polisi ke pinggir kota dengan sebuah mobil. Sepanjang jalan sjeumlah polisi sudah bicara dengan nada sadis. “ Kamu nanti akan saya tembak lho. Biar kapok dan gak nyopet lagi. Gimana ? “ ujar polisi dengan sinis.

Copet itu tentu saja pusat pasi. Ditembak ? Dia pun terbayang sebuah peluru yang akan menembus dadanya dan seketika dia tak bernyawa. Terbayang wajah istri dan anak perempuannya yang baru berumur dua tahun . Pencopet itu tak menjawab dan hanya terdiam.
“ Gimana ? Kok diam saja ? Gak takut ya ? “ bentak polisi lain tak kalah sinis..
“ Takut pak. Jangan ditembak pak. Anak saya masih kecil. “ ujar pencopet itu dengan memelas.
“ Kalau takut ditembak ya jangan mencopet. “ tukas polisi tersebut.

Lantas seorang polisi mengeluarkan pistol dan mengecek jumlah peluru yang ada di dalamnya. Bak seorang koboi pistol dimasukkan kembali ke sarungnya. Aksi polisi ini memancing rasa gelisah sanga pencopet. Keringat dingin mengucur dan tiba-tiba perutnya sakit, berasa akan buang air.
“ Pak saya mau kencing . Perut saya sakit. “ ujar pencopet itu memohon.

Mendengar pemohonan pencopet itu sejumlah polisi bermusyawarah sebentar dan mobil yang membawanya seketika berhenti disebuah tempat yang sepi.
“ Sana kencing, “ ujar salah seorang polisi sambil menyorong tubuh pencopet. Kerasnya dorongan membuat tubuh pencpet itu limbung dan agak terjatuh. Baru saja dia bangkit dan berjalan beberapa langkah dari polisi itu, tiba-tiba terdengar sebuah ledakan dan tubuh pencopet itu jatuh bersimbah darah.

Peristiwa itu terjadi persis di depan mata sejumlah jurnalis kriminal. Semuanya tahu persis bahwa pencopet itu sengaja ditembak oleh polisi tanpa alasan. Tetapi, berita yang esuk hari tertayang di media… “ Hendak Lari, Pencopet Di Dor !!

Kesialan nasib pencopet tak cukup sampai disitu. Teman-teman wartawan yang menyaksikan penembakan itu justru merasa mendapat hiburan aksi laga dari sikap polisi yang semena-mena. Mereka memperbincangkannya dengan penuh tawa tanpa ada sentuhan rasa kemanusiaan sedikitpun. Terhadap kasus penembakan ini salah seorang teman saya justru dengan bangganya bilang, “ Kalau saya setuju dengan penembakan itu agar nantinya ada efek jera. “ ujar teman saya tanpa rasa berdosa.

Astaghfirullah!!!. Inikah nurani jurnalis kita ? Sebuah kekerasan dan ketidak adilan justru direstui dan dianggap sebagai sebuah media hiburan. Padahal, mereka tak dapat menggaransi hidup mereka dan anak keturunannya pada suatu saat nanti tak akan jadi seorang copet. Konon wartawan adalah pembela kebenaran, tetapi berhadapan dalam suituasi kekerasan yang riil didepan mata seringkali mereka tak mampu bersikap apapun.

Tuesday, July 12, 2005

Jurnalis (Bukan) Buruh

Terus terang, agak kaget ketika saya terima sms dari Mas Ardi yang berisi undangan launching koran ‘Bela Rakyat’ di kantor DPD PKS Kota Yogyakarta. Setengah penasaran, saya sanggupi saja undangan tersebut sambil melihat seperti apa bentuk koran yang aka diterbitkan oleh partai berlambang bulan sabit ini.

Kaget karena PKS mulai menyentuh wilayah ‘panas’ yang berhubungan langsung dengan penguatan opini publik. Meski dalam hati saya masih berpikir..jangan-jangan teman-teman PKS memang tidak faham dengan realita dunia jurnalistik. Atau jangan-jangan PKS sedang berusaha menyiapkan strategi lain dengan penerbitan koran tersebut.

Saya saja yan sudah sekitar 16 tahun jadi ‘kuli’ benar-benar merasakan bahwa jurnalistik hanya memberikan ‘nama besar’ sementara di dalam kita benar-benar diperbudak oleh manajemen. Bayangkan… panas-panas kita cari berita tetapi yang terjadi berita kita dipotong iklan. Alasannya, iklan kan ada duitnya sementara berita hanya menu pelengkap.

Terus terang saya sangat marah dengan pendapat seperti itu, karena realita bisnis koran ternyata tak secantik idealisme yang digembar-gemborkan di permukaan. Bahkan ironisnya, pendapatan bagian iklan terkadang bisa 3-4 kali lipat gaji wartawannya. Bahkan, salah satu sales iklan di media saya konon ada yang pernah punya gaji setara Ketua Dewan setiap bulannya. Fantastis bukan ?

Nah, reporter yang setengah mati diburu deadline dan kecermatan harus tunduk dibawah komando iklan. Informasi yang seharusnya milik rakyat, harus kalah oleh kepentingan pemilik modal, sehingga kuli-kuli yang konon intelektual itu akhirnya tak lebih seorang buruh yang tak punya kekuatan apapun.

Salah seorang kawan saya yang berprofesi sebagai fotografer pernah mengumpat-umpat gara-gara foto bidikannya terpaksa dikalahkan foto pemilik modal yang sangat ‘ancur ‘ dari sisi jurnalistik. Tapi, karena wartawan lagi-lagi hanya seorang buruh maka ‘foto ancur’ itu terpaksa tayang di medianya. Bukan hanya itu, saya juga punya teman redaktur yang terpaksa nglajo Solo-Jogja karena perusahaan tak mau tahu dengan kondisinya. Perusahaan hanya mau tahu pekerjaan beres dikerjakan tepat waktu dengan cara apapun. Entah dia mau nglajo atau kos itu jadi urusan sang redaktur dan tahunya koran esok hari terbit dengan berita yang lengkap. Padahal redaktur ini terkadang mengerjakan garapan rata-rata 2 halaman setiap harinya.

Kondisi ini menjadi sangat ironis jika kemudian dipandang dari sisi luar dan dalam. Disatu sisi media berteriak-teriak membela hak buruh, tetapi disisi lain hak wartawan sebagai buruh tak terlindungi. Dimanapun wartawan adalah seorang buruh yang tak mengenal jam lembur. Penghasilan pas-pasan itupun masih direcoki dengan isu ‘bodrex’ yang terkesan sinis.

Wartawan tak boleh terima amplop dalam bentuk apapun, karena terima amplop sama saja dengan makan uang korupsi. Dalam sebuah workshop Jurnalis Anti Korupsi saya secara tegas bilang mendingan wartawan terima amplop tetapi statusnya benar-benar wartawan daripada mengaku jurnalis , tak pernah menulis, tak punya media tetapi bergabung dalam sebuah organisasi ikatan profesi jurnalis. Aneh Tapi Nyata.

Terbitnya koran-koran baru termasuk koran partai seperti ‘Bela Rakyat’ semoga mampu memberikan nuansa baru dalam indsutri pers sehingga industri pers tak terjebak dalam kapitalisme media massa yang mengatasnamakan idealisme. Untuk itu, crew ‘Bela Rakyat’ harus benar-benar mampu menjaga amanah bahwa informasi adalah milik publik dan tak boleh kalah dengan kepentingan apapun. Kepentingan bisnis boleh ikut serta, tetapi jangan mendominasi. Iklan boleh ada tetapi jangan menggeser berita dan keuntungan iklan harus berdampak setara terhadap semua pengasuh penerbitan. Sampai saat ini belum ada perusahaan koran yang melakukan share secara seimbang terhadap semua karyawannya. Semoga koran ini berani memulainya. Namun, sekecil apapun kita patut hargai keberanian PKS yang berani menjadi budak bagi kebenaran dan transparansi informasi.

Sebagian besar orang meyakini bahwa kabar di koran adalah sebuah kebenaran sejati. Tetapi banyaknya koran yang terbit sekarang membuat kebenaran sejati beralih menjadi kebenaran versi indsutri. Sebuah kebenaran yang selalu saja bersifat debatable. Tergantung media apa yang memuat dan siapa yang mempengaruhi. Betapa tidak, ketika saya bela habis-habisan PKS yang diboikot oleh sejumlah anggota Dewan Kota, ada saja salah seorang anggota Dewan Kota yang langsung kirim sms ke petinggi koran saya karena merasa berita yang saya tulis tidak sesuai dengan keinginannya. Ini sebuah realita bahwa menampilkan sebuah kebenaran melalui media massa ternyata tak segampang yang orang kira. Tapi..apapun yang terjadi perjuangan harus tetap dilakukan. Meski bertaruh nyawa sekalipun.
Amien. !!