Ada sebuah lelucon jika wartawan adalah orang yang gak bakal masuk neraka. Sebab, mereka selalu punya tugas konfirmasi saat meliput berita. Jadi , setelah meninggal mereka bisa wira-wiri antara neraka dengan surga. :)
Realitanya, wartawan adalah orang yang lebih banyak ditunjukkan jalan ke neraka daripada ke surga. Bahkan hanya wartawan yang setengah gila aja yang bisa bertahan dalam profesinya. Bagaimana tidak ? Mereka harus bertarung antara idealisme dan kebutuhan ekonomi. Dan jarang sekali yang kuat mempertahankan idealisme karena rayuan status, posisi dan ekonomi. Apalagi untuk wartawan koran lokal yang gajinya hanya sekitar Rp.700 ribu.
Wartawan dihargai karena 'taringnya'. Tapi, sumpah pada saat mereka tak punya taring lagi, jarang yang sempat memandang keberadaannya. Karena itu, beberapa wartawan kemudian melakukan aji mumpung. Pada saat mereka masih berprofesi wartawan, mereka bekerjsama dengan pejabat menjadi tangan panjang koruptor.
Karena sebuah kepanjangan tangan, maka peran wartawan sangat menentukan. Umumnya modus yang digunakan pejabat adalah meminta pengesahan kwitasi dinas yang sudah dimark-up kepada perusahaan koran. Mereka membujuk wartawan untuk menyampaikan hal itu kepada perusahaannya agar kwitansi dinas itu disahkan. Sebab kwitansi yg telah dishkan itu yg nantinya dipakai sebagai Laporan Pertanggung Jawaban oleh dinas terkait. Karena wartawan ingin dapat komisi iklan, maka permintaan itu dikabulkannya. Jadilah proses korupsi mutualisme antara pejabat dan wartawan.
Di Kota, proses korupsi ini sudah berlangsung sangat menjijikkan. Sebuah instansi dinas jusyru pernah terang-terangan mencatut nama media tertetentu tetapi disahkan di media lainnya. Meski wartawan yang dicatut protes, tetapi korupsi tetap berlangsung.
Bukan hanya itu, nama wartawan juga sering dipakai sebagai alasan untuk melancarkan proses korupsi. Seorang pejabat di Pemkot pernah menemui saya. Mereka menyatakan bahwa dinasnya akan memberikan sarana liputan berupa tas kecil. Ditunjukkannya , sebuah tas gunung kecil merek Eiger kepada saya. Saya taksir harganya sekitar Rp.75-100 ribu. Saya bilang, oke, tas seperti itu. Tapi realiasinya, ternyata hanya diberikan tas kecil tanpa merek yang harga di toko tak lebih dari Rp.20 ribu.
Bukan hanya itu, sebuah instansi pernah memesan iklan untuk koran saya yang harganya waktu itu Rp. 3,5 juta. Tapi justru dibayar Rp. 4 juta, tanpa kwitansi. Saya heran, tetapi mereka memaksa saya menerimakelebihan yang Rp 500 ribu itu dan esoknya saya dengar kabar bahwa anggaran Sekda ternyata 7,5 juta untuk iklan media saya. Saya pernah akan kembalikan, tetapi mereka jawab, uang yang sudah keluar tak boleh dikembalikan lagi.
Ini realitanya.
Tapi mereka yang terbiasanya sebagai tangan panjang koruptor ternyata justru teriak-teriak anti bodrex. Mereka demonstrasi menolak wartawan gadungan, karena khawatir wartawan yang tak mereka kenal medianya ikut menikmati jatah anggaran transportasi yang dikleuarkan dinas tertentu. Saya melihatnya sebagai sebuah kekhawatiran berkurangnya jatah amplopan yang mereka terima daripada perjuangan mempertahankan idealisme.
Teman saya seorang wartawati, bahkan pernah menolak jumpa pers PKS karena dinilai PKS tak peka terhadap kebutuhan wartawan. " Saya mending gak berangkat saja, PKS kan maunya cuma gotong royong. Masak uang bensin aja gak kasih,. Kebangetan ." ujar teman saya itu.
Jujur..saya pernah ikut mengalami hal itu selama hampir 5 tahun. Tapi, saya tak betah menghadapi pertentangan nurani dan saya memutuskan untuk mengakhirinya. saja. (*)
Wednesday, November 02, 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment