Friday, July 15, 2005

Copet Malioboro

Ini sebuah cerita tentang seorang copet di Kawasan Malioboro yang tertangkap polisi. Hanya sekitar Rp.200 ribu uang yang ia peroleh dari hasil mencopet seorang ibu yang sedang berbelanja di sebuah swalayan. Namun, karena nasib sial dia tertangkap. Setelah remuk digebugi warga, copet ini diserahkan pada polisi. Kabar terangkapnya copet itupun sampai ketelinga wartawan. Tau ada pencopet terangkap, wartawan kriminal seperti mendapat santapan lezat bagi tayangan medianya. Tetapi, ada juga yang over acting. Tanpa alasan yang jelas seorang wartawan justru ikut memukuli pencopet dan bergaya seperti seorang reserse. Padahal, tak ada kamus jurnalistik yang menghalalkan wartawan berlaku kekerasan.

Alih-alih untuk menunjukkan rumah teman yang lainnya, copet itu dibawa polisi ke pinggir kota dengan sebuah mobil. Sepanjang jalan sjeumlah polisi sudah bicara dengan nada sadis. “ Kamu nanti akan saya tembak lho. Biar kapok dan gak nyopet lagi. Gimana ? “ ujar polisi dengan sinis.

Copet itu tentu saja pusat pasi. Ditembak ? Dia pun terbayang sebuah peluru yang akan menembus dadanya dan seketika dia tak bernyawa. Terbayang wajah istri dan anak perempuannya yang baru berumur dua tahun . Pencopet itu tak menjawab dan hanya terdiam.
“ Gimana ? Kok diam saja ? Gak takut ya ? “ bentak polisi lain tak kalah sinis..
“ Takut pak. Jangan ditembak pak. Anak saya masih kecil. “ ujar pencopet itu dengan memelas.
“ Kalau takut ditembak ya jangan mencopet. “ tukas polisi tersebut.

Lantas seorang polisi mengeluarkan pistol dan mengecek jumlah peluru yang ada di dalamnya. Bak seorang koboi pistol dimasukkan kembali ke sarungnya. Aksi polisi ini memancing rasa gelisah sanga pencopet. Keringat dingin mengucur dan tiba-tiba perutnya sakit, berasa akan buang air.
“ Pak saya mau kencing . Perut saya sakit. “ ujar pencopet itu memohon.

Mendengar pemohonan pencopet itu sejumlah polisi bermusyawarah sebentar dan mobil yang membawanya seketika berhenti disebuah tempat yang sepi.
“ Sana kencing, “ ujar salah seorang polisi sambil menyorong tubuh pencopet. Kerasnya dorongan membuat tubuh pencpet itu limbung dan agak terjatuh. Baru saja dia bangkit dan berjalan beberapa langkah dari polisi itu, tiba-tiba terdengar sebuah ledakan dan tubuh pencopet itu jatuh bersimbah darah.

Peristiwa itu terjadi persis di depan mata sejumlah jurnalis kriminal. Semuanya tahu persis bahwa pencopet itu sengaja ditembak oleh polisi tanpa alasan. Tetapi, berita yang esuk hari tertayang di media… “ Hendak Lari, Pencopet Di Dor !!

Kesialan nasib pencopet tak cukup sampai disitu. Teman-teman wartawan yang menyaksikan penembakan itu justru merasa mendapat hiburan aksi laga dari sikap polisi yang semena-mena. Mereka memperbincangkannya dengan penuh tawa tanpa ada sentuhan rasa kemanusiaan sedikitpun. Terhadap kasus penembakan ini salah seorang teman saya justru dengan bangganya bilang, “ Kalau saya setuju dengan penembakan itu agar nantinya ada efek jera. “ ujar teman saya tanpa rasa berdosa.

Astaghfirullah!!!. Inikah nurani jurnalis kita ? Sebuah kekerasan dan ketidak adilan justru direstui dan dianggap sebagai sebuah media hiburan. Padahal, mereka tak dapat menggaransi hidup mereka dan anak keturunannya pada suatu saat nanti tak akan jadi seorang copet. Konon wartawan adalah pembela kebenaran, tetapi berhadapan dalam suituasi kekerasan yang riil didepan mata seringkali mereka tak mampu bersikap apapun.

No comments: