Tuesday, July 12, 2005

Jurnalis (Bukan) Buruh

Terus terang, agak kaget ketika saya terima sms dari Mas Ardi yang berisi undangan launching koran ‘Bela Rakyat’ di kantor DPD PKS Kota Yogyakarta. Setengah penasaran, saya sanggupi saja undangan tersebut sambil melihat seperti apa bentuk koran yang aka diterbitkan oleh partai berlambang bulan sabit ini.

Kaget karena PKS mulai menyentuh wilayah ‘panas’ yang berhubungan langsung dengan penguatan opini publik. Meski dalam hati saya masih berpikir..jangan-jangan teman-teman PKS memang tidak faham dengan realita dunia jurnalistik. Atau jangan-jangan PKS sedang berusaha menyiapkan strategi lain dengan penerbitan koran tersebut.

Saya saja yan sudah sekitar 16 tahun jadi ‘kuli’ benar-benar merasakan bahwa jurnalistik hanya memberikan ‘nama besar’ sementara di dalam kita benar-benar diperbudak oleh manajemen. Bayangkan… panas-panas kita cari berita tetapi yang terjadi berita kita dipotong iklan. Alasannya, iklan kan ada duitnya sementara berita hanya menu pelengkap.

Terus terang saya sangat marah dengan pendapat seperti itu, karena realita bisnis koran ternyata tak secantik idealisme yang digembar-gemborkan di permukaan. Bahkan ironisnya, pendapatan bagian iklan terkadang bisa 3-4 kali lipat gaji wartawannya. Bahkan, salah satu sales iklan di media saya konon ada yang pernah punya gaji setara Ketua Dewan setiap bulannya. Fantastis bukan ?

Nah, reporter yang setengah mati diburu deadline dan kecermatan harus tunduk dibawah komando iklan. Informasi yang seharusnya milik rakyat, harus kalah oleh kepentingan pemilik modal, sehingga kuli-kuli yang konon intelektual itu akhirnya tak lebih seorang buruh yang tak punya kekuatan apapun.

Salah seorang kawan saya yang berprofesi sebagai fotografer pernah mengumpat-umpat gara-gara foto bidikannya terpaksa dikalahkan foto pemilik modal yang sangat ‘ancur ‘ dari sisi jurnalistik. Tapi, karena wartawan lagi-lagi hanya seorang buruh maka ‘foto ancur’ itu terpaksa tayang di medianya. Bukan hanya itu, saya juga punya teman redaktur yang terpaksa nglajo Solo-Jogja karena perusahaan tak mau tahu dengan kondisinya. Perusahaan hanya mau tahu pekerjaan beres dikerjakan tepat waktu dengan cara apapun. Entah dia mau nglajo atau kos itu jadi urusan sang redaktur dan tahunya koran esok hari terbit dengan berita yang lengkap. Padahal redaktur ini terkadang mengerjakan garapan rata-rata 2 halaman setiap harinya.

Kondisi ini menjadi sangat ironis jika kemudian dipandang dari sisi luar dan dalam. Disatu sisi media berteriak-teriak membela hak buruh, tetapi disisi lain hak wartawan sebagai buruh tak terlindungi. Dimanapun wartawan adalah seorang buruh yang tak mengenal jam lembur. Penghasilan pas-pasan itupun masih direcoki dengan isu ‘bodrex’ yang terkesan sinis.

Wartawan tak boleh terima amplop dalam bentuk apapun, karena terima amplop sama saja dengan makan uang korupsi. Dalam sebuah workshop Jurnalis Anti Korupsi saya secara tegas bilang mendingan wartawan terima amplop tetapi statusnya benar-benar wartawan daripada mengaku jurnalis , tak pernah menulis, tak punya media tetapi bergabung dalam sebuah organisasi ikatan profesi jurnalis. Aneh Tapi Nyata.

Terbitnya koran-koran baru termasuk koran partai seperti ‘Bela Rakyat’ semoga mampu memberikan nuansa baru dalam indsutri pers sehingga industri pers tak terjebak dalam kapitalisme media massa yang mengatasnamakan idealisme. Untuk itu, crew ‘Bela Rakyat’ harus benar-benar mampu menjaga amanah bahwa informasi adalah milik publik dan tak boleh kalah dengan kepentingan apapun. Kepentingan bisnis boleh ikut serta, tetapi jangan mendominasi. Iklan boleh ada tetapi jangan menggeser berita dan keuntungan iklan harus berdampak setara terhadap semua pengasuh penerbitan. Sampai saat ini belum ada perusahaan koran yang melakukan share secara seimbang terhadap semua karyawannya. Semoga koran ini berani memulainya. Namun, sekecil apapun kita patut hargai keberanian PKS yang berani menjadi budak bagi kebenaran dan transparansi informasi.

Sebagian besar orang meyakini bahwa kabar di koran adalah sebuah kebenaran sejati. Tetapi banyaknya koran yang terbit sekarang membuat kebenaran sejati beralih menjadi kebenaran versi indsutri. Sebuah kebenaran yang selalu saja bersifat debatable. Tergantung media apa yang memuat dan siapa yang mempengaruhi. Betapa tidak, ketika saya bela habis-habisan PKS yang diboikot oleh sejumlah anggota Dewan Kota, ada saja salah seorang anggota Dewan Kota yang langsung kirim sms ke petinggi koran saya karena merasa berita yang saya tulis tidak sesuai dengan keinginannya. Ini sebuah realita bahwa menampilkan sebuah kebenaran melalui media massa ternyata tak segampang yang orang kira. Tapi..apapun yang terjadi perjuangan harus tetap dilakukan. Meski bertaruh nyawa sekalipun.
Amien. !!

No comments: