Jika disebut profesi jurnalis, apa yang terbayang ? Seseorang dengan rompi kumal, rambut gondrong, tas besar dan kumuh. Haruskah begitu ? Ada anggapan salah kaprah untuk mengidentfikasi priofesi jurnalis. Seolah-olah jurnalis identik dengan rompi dan rambut gaondrong. Jika ada wartawan yang tampil rapih, tanpa rompi dan bersih maka..jurnalis seperti ini akan dibilang sebagai jurnalis nanggung.
Lho? Padahal nanggung dan tidak bukan terletak pada pakaian, tetapi terletak pada ketrampilan karena jurnalis adalah sebuah ketrampilan. Jika birokrat berpakaian bersih dan rapi maka jurnlais seolah-olah harus mengambil posisi berlawanan sehingga mereka memilih untuk kumuh daripada tampil bersih.
Agak susah mencari jurnalis yang punya perilaku hidup bersih. Bukan hanya sisi lahir tetapi juga sisi batin. Tuntutan terhadap profesi agar mampu tampil ajur ajer dengan semua lapisan masyarakat telah menyeret sejumlah jurnalis dalam golongan abangan. Sangat sulit menemukan lingkungan pergaulan jurnalis yang benar-benar hijau.
Bukan hanya itu, menjaga lingkungan kerja tetap bersih ternyata juga susah. Apalagi, sebagian besar wartawan sangat tergantung 'memori'nya terhadap sebatang rokok. Maka, jika mereka tak merokok selama bekerja, ibarat mobil tanpa bensin. Matot alias macet total.!
Dapat diduga, selama bekerja ruangan kerja seorang jurnalis akan selalu berasap. Nh bisa dibayangkan betapa sumpeknya jika ruangan itu ber AC, maka ruangan menjadi pengap dan sesak. Untungnya, saat saya masih bekerja, boss saya cukup nekat untuk tidak memasang AC di ruang kerja dan tega hati membiarkan karyawannya kepanasan.
Hampir dalam setiap tulisannya, wartawan selalu mengajak masyarakat untuk hidup sehat dan bersih. Tetapi, ternyata masih sulit untuk diterapkan pada diri sendiri. Kalau sudah begini, so what gitu lhoh..!!
No comments:
Post a Comment